Skip to content

Overfishing dan Bycatch di Indonesia: Penanganan dan Penanggulangan

Pengertian Overfishing dan Bycatch

Overfishing adalah kegiatan merugikan dimana jumlah ikan yang berada pada suatu perairan habis atau terkuras karena terlalu banyak dipancing atau ditangkap. Overfishing ini menjadi masalah yang belum terselesaikan semenjak dulu dan keadaannya semakin parah pada saat ini. Kasus overfishing ini dianggap merugikan karena oknum nelayan menangkap sebagian besar ikan walaupun tidak dibutuhkan atau tidak sesuai dengan jenis tangkapan dan hanya menyisakan sebagian kecil. Menurut riset, sepertiga dari kegiatan perikanan merupakan kegiatan overfishing dan sering terjadi di negara berkembang dan sebanyak 34% dari ketersediaan ikan di pasaran merupakan hasil dari overfishing.

Bycatch adalah bagian dari hasil tangkapan yang tidak sengaja tertangkap karena bukan menjadi tangkapan utama, termasuk didalamnya organisme yang mati akibat interaksi dengan alat tangkap meskipun tidak terangkat dari dalam laut.  Menurut FAO, pada tahun 2010-2024 sekitar 9,1 miliar ton hasil tangkapan nelayan merupakan kasus bycatch dan sekitar 4,2 miliar ton dilepaskan atau dibuang kembali. Biasanya, hasil tangkapan bycatch yang terangkat ke atas kapal akan disimpan atau dimanfaatkan dan yang tidak terangkat akan dibuang. Bycatch ini merupakan gabungan antara incidental catch dimana tangkapan sampingan dimanfaatkan dan discarded catch dimana tangkapan sampingan dikembalikan karena pertimbangan ekonomi, peraturan, atau pribadi. 

Dampak Overfishing dan Bycatch

Overfishing memiliki dampak nyata baik pada ekosistem maupun manusia. Pada ekosistem sendiri, overfishing menyebabkan terjadinya penurunan populasi serta penghambat pemulihan populasi. Selain itu, kegiatan overfishing ini akan menyebabkan ketimpangan pada ekosistem. Bagi manusia, overfishing akan mempengaruhi hasil tangkapan dari nelayan. Pengaruh tersebut akan berdampak pula bagi pendapatan nelayan.

Bycatch juga memiliki dampak baik ekosistem maupun manusia. Hasil dari tangkapan karena bycatch akan mempengaruhi struktur komunitas di laut terutama bagian dasar. Perubahan struktur tersebut terjadi karena spesies bentik yang bukan target biasanya hidup di dasar laut. Ketika terangkat, buangan bentik tersebut akan dimakan langsung oleh predator yang berada di dasar laut. Selain itu, bycatch ini akan mempengaruhi ekosistem dengan cara mempengaruhi populasi spesies karena bisa saja terdapat spesies buangan akibat bycatch yang mati. Bycatch ini juga mempengaruhi ekonomi nelayan. Tangkapan sampingan yang dibuang biasanya memiliki nilai ekonomi bagi nelayan lainnya dan ketika tangkapan tersebut dibuang dan mati, kesempatan untuk menangkap ikan tersebut akan terpengaruh.

Kebijakan Pemerintah Mengenai Penanggulangan Overfishing dan Bycatch 

Dalam mengelola hasil tangkapan, khususnya pada tangkapan sampingan atau bycatch di Indonesia, terdapat beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan. Pertama-tama mengenai hasil tangkapan, atau target catch, di mana pada FAO Fisheries Technical Paper 339 di tahun 1996 tertulis hasil tangkapan yang terdiri dari satu atau sejumlah spesies merupakan sasaran tangkapan utama kegiatan penangkapan ikan, di luar hasil tangkapan yang merupakan sasaran akan dianggap sebagai bycatch. Kedua, bycatch sendiri terdiri atas dua tangkapan, yaitu incidental catch dan discarded catch. Incidental catch adalah hasil dari tangkapan sampingan yang dapat dimanfaatkan, baik secara ekonomi maupun pribadi. Sedangkan discarded catch merupakan tangkapan sampingan yang dikembalikan ke laut karena pertimbangan ekonomi, peraturan maupun pribadi. Regulasi telah diberikan, khususnya pada spesies yang dilindungi seperti pada hiu. Salah satu regulasi terkait spesies hiu adalah resolusi IOTC. 

Resolusi IOTC, atau IOTC Resolution terdiri atas beberapa regulasi terhadap hiu, di antaranya adalah: 

  1. Resolusi Nomor 12/09  mengenai konservasi Hiu Tikus (Famili Alopiidae) yang berasosiasi dengan perikanan pada wilayah kompetensi IOTC.
  2. Resolusi Nomor 13/05 mengenai konservasi Hiu Paus (Rhincodon typus).
  3. Resolusi Nomor 13/06 mengenai kerangka kinerja ilmiah dan pengelolaan konservasi spesies hiu yang tertangkap pada wilayah perikanan yang dikelola oleh IOTC.
  4. Resolusi Nomor 17/05 terkait konservasi Hiu yang bekerja sama dengan perikanan yang dikelola oleh IOTC.
  5. Resolusi Nomor 18/02 terkait tindakan pengelolaan konservasi Hiu Biru yang berasosiasi dengan perikanan IOTC.

Berikutnya, berdasarkan regulasi yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka setiap hasil tangkapan yang didapat dari laut wajib untuk dievaluasi pemanfaatan sumber daya ikannya ketika sampai di daratan. Baik pada pengawas yang berada di lokasi, sesuai dengan Peraturan Menteri KP Nomor 33 Tahun 2021 yang mengatur tentang ketentuan umum penangkapan, logbook penangkapan ikan, pemantauan di atas kapal penangkapan ikan dan kapal pengangkut ikan, inspeksi, pengujian dan penandaan kapal perikanan, dan juga tata kelola pengawakan kapal perikanan. Sesuai dengan Peraturan Menteri KP No. 33 di tahun 2021, maka diwajibkan bagi para kapal penangkap maupun pengangkut ikan untuk memiliki logbook. Logbook sendiri merupakan laporan harian yang ditulis oleh kapten mengenai kegiatan penangkapan ikan. Logbook juga dapat dianggap sebagai surat pernyataan pendaratan dari nahkoda atau surat keterangan nahkoda mengenai kegiatan penangkapan ikan maupun hasil tangkapan ikan di laut yang akan didaratkan di tempat penangkapan ikan. 

Kemudian, data dan statistik penangkapan ikan akan diteliti sesuai dengan UU No. 45 Tahun 2009 yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia”. Undang-undang tersebut merupakan sebuah perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 2004, yang berbunyi: “Setiap orang dilarang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia”. Perubahan ini dilakukan karena dirasa bahwa UU No. 31 Tahun 2004 belum sepenuhnya mengantisipasi adanya perkembangan teknologi maupun kebutuhan hukum atas pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan. Dengan regulasi ini, dapat direkomendasikan nantinya apabila hasil tangkapan dapat kayak untuk ditindaklanjuti pemanfaatannya. 

Beberapa kriteria harus dimiliki juga oleh beberapa kapal agar sesuai untuk ditempati observer atau pengawas. Pertama-tama, pada Kapal Purse Seine dan Long line harus berada di laut lepas. Kedua, kapal penangkap ikan yang beroperasi di WPP-NRI (>39 GT) merupakan kelompok pancing serta kelompok jaring lingkar, jaring angkat dan jaring insang. Keitga, kapal pengangkut ikan yang beroperasi WPP-NRI dan LL. Terakhir, pada kapal-kapal lainnya yang merupakan kapal penangkap ikan yang memiliki rekomendasi untuk verifikasi laporan LBPI dan kapal penangkap/pengangkut ikan yang diusulkan untuk keperluan riset/tujuan tertentu, di antaranya adalah FIP. Pemindahan hasil tangkapan yang dilakukan di area konvensi RFMOs harus dilakukan oleh observer regional yang sudah memiliki standar RFMOs. Dasar hukum yang mendasari pelaksanaan pengawasan berikut adalah Peraturan KP No. 33 Tahun 2021 mengenai Logbook Penangkapan Ikan, Pemantauan di Atas Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Taat Kelola Pengawakan Kapal Perikanan; Perdirjen PT No. 12/PERDJPT/2018 tentang Petunjuk Teknis Pemantauan Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan, serta Resolusi IOTC Nomor 11/04 tentang Regional Observer Scheme. 

Alur Pelaporan Kapal Pengangkut Ikan

Pelaporan Kapal Pengangkut Ikan seperti pada Peraturan Menteri KP No. 33 Tahun 2021 terdiri atas beberapa aspek. Salah satunya adalah untuk menulis logbook atau catatan harian yang memiliki fungsi sebagai laporan maupun surat yang dimiliki oleh kapten dari kapal penangkapan ikan untuk mendarat setelah melakukan penangkapan. Terdapat ketentuan untuk penulisan Fishing Logbook, di antaranya adalah:

  1. Setiap kapan penangkap ikan yang memiliki SIPI > 5 GT yang beroperasi di WPP dan laut lepas wajib untuk mengisi Buku Catatan Penangkapan Ikan untuk setiap operasi penangkapan ikan
  2. Tanggung jawab Nahkoda
  3. Harus diisi kapal penangkap ikan
  4. Entri data akurat, terkini dan objektif
  5. Diisi sesuai dengan format yang telah ditentukan
  6. Nahkoda menyerahkan buku catatan di pelabuhan perikanan kepada Syahbandar di pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal untuk pelabuhan yang bukan merupakan pelabuhan perikanan

Guna mempermudah banyak pihak dalam penulisan logbook, maka telah diadakan juga e-logbook oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang bersifat lebih praktis berbasis gadget, paperless atau tidak membutuhkan kertas dalam proses pencatatan data operasi, penyampaian laporan data operasi yang dilakukan secara cepat tanpa harus ke kantor Pelabuhan Perikanan/Umum, terintegrasi di mana data langsung terintegrasi dengan aplikasi SILOPI dan dimilikinya mode offline untuk menginput data secara offline dan dapat dikirim ketika online.  

Apabila alur ini tidak dilaksanakan dengan baik, maka dapat dilaksanakan alur sanksi (punishment) di mana ketika tidak diserahkan LBPI (tidak adanya logbook) maka SPB tidak akan diterbitkan (unpublished), SIPI dibekukan (freezing license) dan juga SIPI dicabut (cancellation license). Sementara, apabila ditemukan bahwa data tidak benar atau incorrect data, maka hanya ada dua macam sanksi, yaitu pembekuan SIPI (freezing license) dan pencabutan SIPI (cancellation license).

Pencegahan Overfishing dan Bycatch

Terdapat beberapa langkah atau metode yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kembali penangkapan ikan secara berlebih maupun terjadinya tangkapan samping, yaitu:

  1. Berdasarkan Karakteristik Bycath
  1. Jenis Bycatch
  2. Area keberadaan bycatch
  3. Waktu kemunculan/musim
  4. Berdasarkan Karakteristik Perikanan
  1. Target penangkapan
  2. Alat tangkap yang digunakan
  3. Waktu penangkapan
  4. Tingkat upaya penangkapan

Tangkapan samping berupa mammalia laut juga sering terjadi, hal ini dapat menyebabkan kepunahan terhadap beberapa spesies mammalia laut. Agar tidak terjadi bycatch pada mammalia laut dapat dilakukan metode, yaitu sebagai berikut:

  1. Spatial & Temporal Measures

Pemilihan lokasi dan waktu penangkapan ikan yang tidak beririsan dengan lokasi dan waktu kemunculan/ruaya mammalia laut,  termasuk pemilihan setting siang atau malam; Penutupan/pelarangan/pembatasan pada waktu atau lokasi tertentu (sementara atau permanen) untuk kegiatan penangkapan ikan.

  1. Depredation Mitigation Device

Alat penghalang yang dipasang pada pancing, menghalangi bycatch Mammalia laut supaya tidak dapat memakan umpan/kail.

  1. Backdown Maneuver and Medina Panel

Kapal melakukan manuver mundut dan menyediakan celah pelolosan pada jaring purse seine.

  1. Weak Hook

Menggunakan kail dengan bahan yang lebih lunak dibandingkan kail yang standard, sehingga memungkinkan untuk lumba-lumba dan paus yang berukuran lebih besar/berat dari tuna bisa terlepas dari kail.

  1. Acoustic Deterrents/Attractors

Menggunakan gelombang suara dalam mencegah atau mengalihkan perhatian biota bycatch agar tidak berinteraksi dengan alat tangkap.

  1. Artificial Bait

Menggunakan umpan buatan yang tidak disukai atau tidak terdeteksi oleh mammalia laut.

  1. Soak Duration

Waktu perendaman alat tangkap didalam air pada kegiatan penangkapan ikan

  1. Chemical Deterrents/Attractants

Menggunakan bahan kimia sebagai penangkal atau penarik yang berkaitan dengan sensorik biologis biota bycatch

  1. Stealth Fishing Gear

Menggunakan alat tangkap yang disamarkan (kamuflase) suapaya tidak terdeteksi oleh bycatch

  1. Common 

Metode untuk berbagai jenis bycatch berbeda pada purse seine.

Selain itu, ditemukan inovasi baru pada alat tangkap perikanan pancing, seperti:

  1. Circle Hook pada penyu
  2. Bait Selection and Manipulation pada penyu
  3. Spatial and Temporal Measures pada penyu, burung laut, mammalia laut, dan hiu.
  4. Depredation Mitigation Device pada mammalia laut, dan burung laut
  5. Weak Hook pada mammalia laut
  6. Acoustic Deterrents pada mammalia laut
  7. Streamer Lines (Tori) pada burung laut
  8. Bait Selection and Manipulation pada penyu dan hiu
  9. Magnetic, E+ Metals, Electrical Deterrents pada hiu
  10. Lights Deterrents pada penyu
  11. Soak Duration pada mammalia laut, hiu, dan penyu

Pengendalian Penangkapan Ikan

Spesies yang tidak boleh ditangkap (Hiu dan Pari, Penyu, burung laut, mammalia laut, atau ikan lainnya seperti tuna) dilindungi oleh perlindungan (CCSBT, IOTC, WCPFC) 

  1. Hiu Koboi (Carcharinus longimanus) dengan status perlindungan Larangan Pengeluaran (Ekspor) dalam peraturan MenKP No.5/2018. Status IUCN Vulnerable dan status pada CITES Appendix II.
  2. 3 Spesies Hiu Martil (Sphyma zygaena, Sphyma lewini, Sphyma mokarran) dengan status perlindungan Larangan Pengeluaran (Ekspor) dalam peraturan MenKP No.5/2018. Status IUCN Vulnerable dan status pada CITES Appendix II.
  3. Hiu Kejen (Carcharinus falciformis) dengan status perlindungan Moratorium Ekspor. Status IUCN Vulnerable dan status pada CITES Appendix II.
  4. 3 Spesies Hiu Monyet (Alopias pelagicus, Alopias superciliosus, Alopias vulpinus) dengan status perlindungan Moratorium Ekspor. Status IUCN Vulnerable dan status pada CITES Appendix II.
  5. Pari Manta (Manta birostris, Manta alfredi) dengan status perlindungan penuh Kepmen KP No.4/2014. Status IUCN Vulnerable dan status pada CITES Appendix II.
  6. Hiu Paus (Rhincodon typus) dengan status perlindungan penuh Kepmen KP No.18/2013. Status IUCN Vulnerable dan status pada CITES Appendix II.
  7. Pari Sentani, Hiu Sentani (semua jenis dari genus Pritis) dengan status Perlindungan penuh PP No.7/1999. Status IUCN Critically Endangered dan status pada CITES Appendix I.
  8. Pari Mobula (Mobula spp) dengan status perlindungan Moratorium Ekspor. Status IUCN Vulnerable dan status pada CITES Appendix II.

Managemen konservasi terhadap hiu yaitu dengan mengaplikasikan semua kapal penangkap ikan yang terdaftar di RFMO. 

  1. Larangan (Prohibited)
  1. Jenis ikan : famili Alopiidae, Oceanic Whitetip Shark (hiu koboi).
  2. Aksi Konservasi:
  • Penyimpanan, pendaratan, dan penjualan dilarang.
  • Segera lepaskan hiu tanpa cedera.
  • Mencatat dan melaporkan tangkapan tidak disengaja dan langsung dilepaskan
  • Resolusi: 12/09, 13/06
  1. Upaya (Mitigatin)
  1. Jenis ikan : Hiu paus
  2. Aksi Konservasi :
  • Jangan melingkari/memulai pengaturan saat melihat hiu paus.
  • Lepaskan hiu paus.
  • Rekam dan laporkan interaksi apa pun.
  • Resolusi: 13/05
  1. Pemanfaatan (Utilization)
  1. Jenis Hiu selain yang dilarang
  2. Tindakan Konservasi: memanfaatkan semua tangkapan hiu, kecuali spesies yang dilarang oleh IOTC. Pemanfaatan penuh didefinisikan sebagai retensi oleh kapal penangkap ikan dari semua bagian hiu kecuali kepala, isi perut dan kulit, hingga titik pendaratan pertama.
  3. Resolusi: 17/05
  4. Pelaporan (Reporting)
  1. Rekam dan laporkan interaksi apa pun.
  2. Melaporkan tangkapan hiu untuk hiu yang tidak dilarang dalam resolusi.

Sekitar 117 jenis hiu dari 25 famili ditemukan diperairan Indonesia. Kondisi terakhir memperlihatkan hampir sebagian dari ikan hiu ekonomis penting dalam status rentan terhadap kepunahan (endangered species). Dalam daftar merah (red list) yang dikeluarkan oleh The International Union for Conservation of Nature (IUCN) terdapat satu spesies hiu yang ditemukan di Indonesia dalam kondisi kritis (critically endangered), 5 spesies dalam kondisi terancam/genting (endangered), 23 spesies dalam kondisi rentan (vulnerable), dan 35 spesies dalam kondisi hampir terancam (near threatened). 

Salah satu isu dan permasalahan ikan hiu di dunia, terutama di Indonesia yaitu hiu sebagai hasil tangkapan sampingan (bycatch). Biota ini merupakan salah satu hasil tangkapan sampingan terutama dari perikanan rawai tuna jaring insang tuna. Umumnya ukuran ikan yang tertangkap dan didaratkan nelayan adalah ikan hiu yang belum dewasa, sehingga merupakan ancaman terhadap populasi spesies ikan ini di masa mendatang. Di sisi lain, terdapat kemungkinan praktek finning, yaitu nelayan hanya mengambil sirip hiu, sedangkan bagian tubuh lainnya dibuang kembali ke laut.

Penanggulangan Overfishing dan Bycatch 

Pada masing-masing kapal penangkap ikan diwajibkan menggunakan logbook. Logbook adalah laporan yang berupa surat pernyataan pendaratan dari nahkoda. Biasanya berisi kegiatan penangkapan ikan dan hasil tangkapan ikan di laut yang telah di daratkan. 

Aplikasi yang telah dibuat untuk mempermudah penyampaian laporan data operasi penangkapan ikan ialah menggunakan E-logbook dimana aplikasi ini praktis, paperless, terintegrasi dan dapat digunakan dalam keadaan offline sekalipun. 

Telah dibuat beberapa regulasi mengenai penangkapan ikan maupun peralatan yang digunakan yaitu upaya/ metode mitigasi. Dalam metode ini terdapat 3 tahapan, tahapan pertama ialah mengkarakteristik bycatch dengan cara melihat jenis bycatch, area keberadaan bycatch dan memperkirakan waktu kemunculan/ musim. Tahapan kedua ialah mengkarakteristikan perikanan  dengan cara menargetkan penangkapan, melihat maupun memeriksa alat tangkap yang digunakan, memperkirakan waktu penangkapan dan tingkat upaya penangkapan bagi nelayan yang melanggar. Tahapan yang ketiga ialah metode mitigasi bycatch dengan cara memilih metode mitigasi yang sesuai dengan karakteristik bycatch dan aktivitas penangkapan yang ada di lokasi 

Rekomendasi

Indonesia merupakan negara maritim yang menjadi habitat bagi berbagai organisme laut dan menjadi tumpuan ekonomi bagi masyarakat pesisir. Namun, penangkapan ikan merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang tidak dapat terlepas dari kehidupan Indonesia. Maka dari itu, akan sulit bagi lautan Indonesia untuk terlepas dari adanya kegiatan overfishing maupun bycatch. Untuk menanggulangi terjadinya overfishing dan bycatch yang semakin banyak kasusnya, maka dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak dan tidak bergantung pada satu pihak saja. Mungkin karena satu dan lain hal, masih banyak dari kejadian overfishing maupun bycatch di Indonesia yang tidak terlaporkan maupun diketahui akibat kurangnya informasi mengenai permasalahan ini dan juga kurang termonitor aktivitas di lautan. Ini menjadi hambatan bagi masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dalam menangani masalah overfishing dan bycatch. 

Maka dari itu kami merekomendasikan:

  1. Melakukan kontrol pada kapasitas dan kegiatan penangkapannya
  2. Melakukan langkah yang berkaitan dengan desain alat tangkap dan penggunaannya seperti ukuran dan jenis mata jaring
  3. Berikan batasan pada bycatch